Jakarta, - Sikap PT Freeport Indonesia yang menolak rencana divestasi 51 persen Pemerintah Indonesia melalui pola penerbitan saham baru karena khawatir akan terjadi over capitalition. Hal itu menunjukan kurangnya penghargaan perusahaan tersebut terhadap hukum nasional yang berlaku. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa apa yang dilakukan oleh PT Freeport telahmemberikan kesan tidak etis, bahwa mereka tidak punya itikad baik dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Apalagi, alasan yang penolakan Freeport disertai dengan pembangunan opsi baru dalam negosiasi, yakni menawarkan Initial Public Offering (IPO) atau pelepasan saham perdana untuk ditawarkan atau dijual kepada masyarakat/publik. Terang sekali, dari usulan ini menunjukan kehendak Freeport tidak rela memberikan /membagi hasil kekayaan tambang gunung glasberg tersebut. Sebab prinsip IPO, berbeda substansi dari usulan divestasi Pemerintah. Basis divestasi pemerintah bukan untuk membagi saham pada swasta lainnya, melainkan memperbesar kepemilikan saham perusahaan negara dalam badan usaha tersebut.
Masalah ini amat krusial, dan berpotensi membawa preseden buruk bagi wibawa hukum nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah diplomasi yang tegas karena hal ini berkaitan dengan kedaulatan hukum negara dan positioning.
Pertama,Penolakan yang disampaikan Freeport jelas didasari pada karakter ekspansif geografis yang sulit untuk tidak disebut sebagai watak kolonialisme baru. Hanya mau mengambil manfaat dari kekayaan alam secara aman, murah dan monopolistik. Tanpa mau berbagi kesejahteraan pada Negara Republik Indonesia, sebagaimana amanat konstitusi Undang-undang Dasar 1945, pasal 33.
Kedua, Mengenai argumentasi Over capitalization, hal itu sungguh mengada-ada. Justru tujuan dari penerbitan saham baru akan meningkatkan net income perusahaan yang dihitung berdasarkan tahun investasi. Lagi pula, logika pembentukan kekayaan yang selama ini dinikmati Freeport hanya menyumbang rata 8 triliun bagi pajak negara. Dari sini terlihat jelas, bahwa Freeport enggan untuk menganggu super profit yang selama ini mereka nikmati sendiri.
Argumentasi yang disampaikan Freeport juga bersifat retorika karena sebelumnya telah terjadi kesepakatan pemerintah untuk kerangka kerja untuk sebuah izin baru akhir bulan lalu, di mana perusahaan yang berbasis di Phoenix, Arizona tersebut setuju untuk melakukan divestasi 51 persen saham di Grasberg, antara lain, dan dapat mempertahankan pengendalian operasional atas tambang tersebut sampai tahun 2041 .
Insentif bahkan telah diberikan lagi pemerintah pada bulan April 2017, Freeport memiliki izin untuk mengekspor 1,1 juta ton konsentrat tembaga sampai Februari tahun depan, dengan catatan pengiriman bisa dihentikan lagi pada bulan Oktober jika negosiasi mengenai izin baru tidak diselesaikan pada saat itu. (rls/**)
Apalagi, alasan yang penolakan Freeport disertai dengan pembangunan opsi baru dalam negosiasi, yakni menawarkan Initial Public Offering (IPO) atau pelepasan saham perdana untuk ditawarkan atau dijual kepada masyarakat/publik. Terang sekali, dari usulan ini menunjukan kehendak Freeport tidak rela memberikan /membagi hasil kekayaan tambang gunung glasberg tersebut. Sebab prinsip IPO, berbeda substansi dari usulan divestasi Pemerintah. Basis divestasi pemerintah bukan untuk membagi saham pada swasta lainnya, melainkan memperbesar kepemilikan saham perusahaan negara dalam badan usaha tersebut.
Masalah ini amat krusial, dan berpotensi membawa preseden buruk bagi wibawa hukum nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah diplomasi yang tegas karena hal ini berkaitan dengan kedaulatan hukum negara dan positioning.
Pertama,Penolakan yang disampaikan Freeport jelas didasari pada karakter ekspansif geografis yang sulit untuk tidak disebut sebagai watak kolonialisme baru. Hanya mau mengambil manfaat dari kekayaan alam secara aman, murah dan monopolistik. Tanpa mau berbagi kesejahteraan pada Negara Republik Indonesia, sebagaimana amanat konstitusi Undang-undang Dasar 1945, pasal 33.
Kedua, Mengenai argumentasi Over capitalization, hal itu sungguh mengada-ada. Justru tujuan dari penerbitan saham baru akan meningkatkan net income perusahaan yang dihitung berdasarkan tahun investasi. Lagi pula, logika pembentukan kekayaan yang selama ini dinikmati Freeport hanya menyumbang rata 8 triliun bagi pajak negara. Dari sini terlihat jelas, bahwa Freeport enggan untuk menganggu super profit yang selama ini mereka nikmati sendiri.
Argumentasi yang disampaikan Freeport juga bersifat retorika karena sebelumnya telah terjadi kesepakatan pemerintah untuk kerangka kerja untuk sebuah izin baru akhir bulan lalu, di mana perusahaan yang berbasis di Phoenix, Arizona tersebut setuju untuk melakukan divestasi 51 persen saham di Grasberg, antara lain, dan dapat mempertahankan pengendalian operasional atas tambang tersebut sampai tahun 2041 .
Insentif bahkan telah diberikan lagi pemerintah pada bulan April 2017, Freeport memiliki izin untuk mengekspor 1,1 juta ton konsentrat tembaga sampai Februari tahun depan, dengan catatan pengiriman bisa dihentikan lagi pada bulan Oktober jika negosiasi mengenai izin baru tidak diselesaikan pada saat itu. (rls/**)
No comments:
Post a Comment